B. SENGKETA
INTERNASIONAL
1. Sebab-Sebab Sengketa
Internasional
Sejarah
perang sama tuanya dengan sejarah manusia. Perang disebabkan oleh perbedaan
kepentingan yang bermuara pada kepentingan politik. Dewasa ini, perang
disebut-sebut sebagai pertahanan atau perlawanan terhadap “ancaman terorisme”
meskipun penyebab sesungguhnya adalah perbedaan ideologi.
Perang
hanya menguntungkan dan demi kepentingan pihak penguasa. Rakyat sipil yang
tidak bersalah kerap menjadi tumbal. “Perang suci” atas nama agamapun, dalam
sejarah, sering tanpa ampun memusnahkan ras manusia dan melecehkan martabat
manusia. Tahanan perang juga memiliki hak asasi seperti para pemenang perang.
Inilah alasannya perlunya hukum perang (law of war) yang dapat melindungi orang
sipil dan tawanan perang.
Mochtar
Kusumaatmadja membagi hukum perang atas jus
ad bellum (hukum tentang perang) yang mengatur justifikasi penggunaan
kekerasan senjata oleh negara dan jus in
bello (hukum yang berlaku dalam perang) yang dapat dibedakan atas cara
melakukan (conduct of war lazim
disebut Hague Laws atau Hukum Den
Haag) dan perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang (lazim disebut genewa Laws atau hukum Jenewa).
Hukum
perang bertujuan agar pihak-pihak yang bertikai memberi perlindungan kepada
penduduk sipil dan tawanan perang. Hukum tersebut menjadi landasan bagi Pengadilan
Internasional dan Mahkamah Internasional untuk mengadili tindak pidana yang
timbul akibat perang.
2. Batas Negara,
Daerah Perbatasan, dan Sengketa
a. Batas Negara
dan Daerah perbatasan
Pembagian
awal ini didasarkan luas tanah pertanian atau pengaruh pusat kota atas daerah
sekitarnya. Ketika kelompok-kelompok yang terbagi atas kerajaan mulai
mengembangkan teritorialnya, mereka melanggar batas kerajaan lain. Perang pun
pecah yang akhirnya diikuti dengan perdamaian. Hasilnya adalah daerah transisi
antardua wilayah kerajaan berupa daerah perbatasan.
Pentingnya
batas negara tidak sepenuhnya disadari orang hingga zaman eksplorasi pada abad
ke-15 dan 16 serta abad-abad berikutnya. Ketika orang-orang Eropa mengklaim
daerah baru di Amerika, Afrika, dan Asia. Berlanjutnya penjajahn pada abad
ke-17, 18, dan 19 memunculkan ketidaksepakatan negara tentang klaim wilyah
mereka. Penentuan batas yang jelas semakin diperlukan. Dengan kemajuan
teknologi, negara-negara mampu menentukan dan mencatat batas-batas wilayah
mereka dengan lebih baik. Hingga akhir abad ke-19, sebagian besar dunia telah
dibagi menurut batas-batas negara, wilayah penjajahan, atau klaim.
Banyak
konflik militer yang terjadi karena
garis batas yang tidak disepakati atau perebutan wilayah dengan berbagai alasan
oleh dua atau lebih negara. Kebutuhan sumber daya baru seperti makanan, air,
atau minyak untuk mendukung pertumbuhan penduduk juga menjadi dasar klaim batas
negara.
b. Sengketa
Berdirinya
Liga Bangsa-Bangsa tahun 1919 (akhir Perang Dunia1) diharapkan mampu menjadi
organisasi yang netral untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai dan
legal, serta untuk menghindari perang. Organisasi ini kemudian diganti oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia 11. Bentrokan kepentingan karena
masalah perbatasan masih terjadi hingga saat ini, tetapi negara-negara lebih
memilih mencari jalan damai melalui PBB dan Mahkamah Internasional. Disamping
itu tekanan kekuatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia dan
Cina; aliansi seperti PBB, NATO, Organisasi Persatuan Afrika maupun organisasi
lainnya turut menekan sengketa.
Diadopsinya
Piagam PBB memunculkan anggapan bahwa penggunaan kekerasan atau perang telah
diharamkan dalam praktik hubungan internasional. Sebagai kelanjutannya negara-negara
harus menggunakan jalan damai sebagai satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan
sengketa. Ada dua kemungkinan yang tersisa bagi penggunaan kekerasan, yakni
membela diri dan otorisasi dari Dewan Kemanan PBB. Ketentuan ini menurut para
ahli sebagai jantung ketentuan Piagam PBB dan prinsip terpenting dalam hukum
internasional kontemporer.
Dasar
hukum cara-cara damai terdapat dalam Piagam PBB Pasal 33. Pasal ini memperkuat
tuntutan kepada negara untuk menggunakan alat-alat penyelesaian damai.
Alat-alat penyelesaian damai yang dimaksud pasal 33 Piagam PBB sebagai upaya
mencari jalan keluar dengan organisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi,
penyelesaian pengadilan, penyelesaian melalui agen-agen regional, atau
cara-cara menurut pilihan negara masing-masing.
Sengketa batas negara muncul ketika negara
mengklaim daerah yang berdekatan dengan negara lain karena hal-hal tertentu
(catatan sejarah atau budaya, posisi strategis, atau sumber daya ekonomi
seperti minyak bumi dan air tanah) yang dimiliki oleh daerah-daerah tersebut. Sengketa tidak akan terjadi sebelum konflik
militer atau upaya diplomatik terjadi, meskipun klaim informal oleh suatu
negara juga dapat menimbulkan ketegangan.
Mahkamah
Internasional bertindak sebagai tangan hukum PBB dan memberikan pendapat kepada
negara yang terlibat sengketa. Negara-negara dapat saja mengklaim suatu daerah
sebagai wilayah mereka, tetapi mereka harus dapat membuktikannya di depan
Mahkamah Internasional. Hal ini sulit
karena bukti-bukti tersebut memerlukan penelitian sejarah, peta, serta dokumen
yang mungkin langka atau tidak tersedia.
Ada
empat sengketa batas negara:
1. Sengketa posisi,
dalam sengketa ini lokasi batas disengketakan oleh satu kelompok atau
lebih. Suatu negara bisa tidak sepakat tentang
batas, karena survei yang tidak akurat atau
catatan yang sudah tua, atau karena alasan
lain. Ciri-ciri geografis seperti sungai dan
pegunungan sering dipakai sebagai batas alam
karena posisinya yang pasti. Namun, dari
waktu ke waktu
ciri-ciri geografis ini berubah karena proses geofisika. Sebagian sungai
Kongo yang
membentuk batas antara negara Kongo dan Republik Demokrat Kongo
dipersengketakan
karena pergeseran pulau dan aliran sungai.
2. Sengketa
teritorial, terjadi jika suatu negara mengklaim wilayah yang berada di
wilayah
negara lain atau ketika batasnya
dipersengketakan, karena alasan sejarah atau budaya.
Kelompok budaya tertentu mungkin telah menempati
daerah dalam jangka waktu lama dan
mendasarkan klaim mereka atas hal ini.
Contohnya, invasi Irak ke Kuwait tahun 1990 dan
sengketa Semenanjung Bsi antar Nigeria dan
Kamerun.
3. Sengketa sumber
daya, sangat lazim terjadi akhir-akhir ini. Sengketa blok Ambalat antara
Indonesia dan Malaysia yang disebabkan adanya
sumber daya minyak bumi di wilayah itu.
Perubahan kecil terhadap suatu batas atau
akuisisi pulau lain yang tidak signifikan (dalam
kasus ini Pulau
Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia) dapat menghasilkan banyak manfaat
ekonomi di
bawah hukum internasional, seperti diperolehnya Zona Ekonomi Esklusif yang
memberikan
pemasukan kepada negara di perairan internasional. Contoh lainnya adalah
Rockall Island di Samudera Atlantik yang
diklaim oleh Irlandia, Denmark, dan Eslandia.
4. Sengketa budaya,
terjadi ketika kelompok yang berbeda secara budaya memilih untuk
memisahkan diri dari kelompok lain di wilayah
mereka, bila perlu dengan menggunakan
kekuatan
bersenjata. Sebuah kelompok dapat berbeda secara budaya karena berbagai
faktor yaitu:
latar belakang suku bangsa, afiliasi agama, keyakinan politik, dan bahasa.
Sengketa budaya
paling sulit diselesaikan karena mengandung nilai pribadi dan nasional.
Banyak sengketa internasional dewasa ini
memiliki aspek budaya, khususnya agama dan
politik. Misal
sengketa di sekitar Yerusalem yang didasari oleh pendudukan tempat ibadah
dimasa lalu oleh kaum Yahudi, Nasrani, dan
muslim. Masalah Bosnia-Herzegovina
terutama disebabkan oleh pertikaian antara
kubu kristen dan muslim.
Sebuah
pertikaian bisa melibatkan satu atau lebih sengketa di atas atau bahkan
keempat-empatnya. Misal sengketa di Jammu dan Kashmir, di Asia Selatan.
Sengketa tidak selalu terjadi antarnegara yang berdaulat, namun bisa terjadi di
sebuah negara karena pembagian administrasi dan internasional, seperti provinsi
atau negara bagian. Atau karena kelompok berbudaya beda ingin memerdekakan diri
dari negaranya. Perang yang terjadi di provinsi Kosovo, Yugoslavia, oleh etnis
Albania yang menginginkan otonomi politik dan budaya, Yugoslavia, perang antara
Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia, serta perang yang terus
berlanjut di Sri Lanka Utara antara kelompok etnis tamil dan pemerintahan yang
berkuasa merupakan contohnya. Jika solusi diplomatik tidak tercapai, sengketa
internasional seperti ini dapat menciptakan batas negara baru. Hal ini terjadi
dalam perang Balkan (1992-1995) ketika Yugoslavia pecah menjadi negara-negara
baru: Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Republik Federal Yugoslavia
(sekarang Serbia-Montenegro), dan Republik Macedonia.
3. Cara Menyelesaikan
Sengketa internasional
a. Metode-Metode Diplomatik
(1) Negosiasi,
merupakan metode penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan
sederhana. Dalam metode ini, penyelesaian
tidak melibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya,
hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan
oleh pihak-pihak terkait. Apabila kedua pihak
menemukan jalan keluar sengketa, maka setiap
pihak memberikan konsesi kepada pihak
lawan. Terkadang negoisasi merupakan cara
pertama sebelum para pihak menggunakan
cara-cara lain.
(2) Mediasi,
merupakan bentuk lain negoisasi. Perbedaannya, mediasi melibatkan piak ketiga
yang bertindak sebagai pelaku mediasi
(mediator). Seorang mediator merupakan pihak
ketiga memiliki peran aktif untuk mencari
solusi yang tepat dalam melancarkan terjadinya
kesepakatan
diantara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya bisa terlaksana apabila
para pihak
bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh para
pihak yang bersengketa.
(3) Inquiry,
metode ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sengketa dengan cara
mendirikan sebuah komisi atau badan yang
bersifat internasional guna mencari dan
mendengarkan
bukti-bukti yang relevan dengan permasalahan. Berdasarkan bukti-bukti
yang ada,
badan ini dapat mengeluarkan sebuah fakta disertai dengan penyelesaian
permasalahan.
(4) Konsiliasi,
merupakan metode penyelesaian pertikaian yang bersifat internasional dalam
suatu komisi
yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik bersifat permanen atau sementara.
Perbedaan
antara konsiliasi dan mediasi adalah mediasi merupakan perluasan dari
negoisasi,
sedangkan konsiliasi memberikan peran bagi pihak ketiga yang setaraf dengan
inquiry atau arbitrase. Dalam
konsiliasi, pencarian fakta bukanlah hal yang mutlak harus
ada.
Kemiripannya dengan mediasi terletak pada penyelesaian yang diajukan tidak
memiliki
kekuatan memaksa.
b. Metode-metode
legal
Metode
ini merupakan cara penyelesaian sengketa internasional secara yudisial (hukum)
dalam hukum internasional, yang tentu saja
berbeda dengan sistem hukum nasional. Beberapa metode penyelesaian
secara legal adalah sebagai berikut:
(1) Arbitrase,
metode ini digunakan dalam hukum nasional dan hukum internasional. Secara
tradisional,
arbitrase digunakan dalam persoalan-persoalan hukum, biasanya dalam
persengketaan
mengenai perbatasan dan wilayah. Arbitrase memberikan keleluasan
kepada para
pihak yang bersengketa untuk mementukan proses perkara. Hal untuk
memilih
arbitrator.
(2) Mahkamah Internasional
merupakan pengadilan yang memiliki yurisdiksi atas berbagai
persoalan
internasional. Mahkamah Internasional berwenang untuk memutuskan suatu
kasus dengan
persetujuan semua pihak yang bersengketa. Fungsi Mahkamah Internasional
dinyatakan
dalam Piagam PBB pasal 38 (1), yaitu memutus perkara sesuai dengan
hukum
internasional. Dalam memutus perkara, Mahkamah Internasional harus
memperhatikan
bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Bahkan tidak
menutup
kemungkinan bagi Mahkamah Internasional untuk mengunjungi objek sengketa.
Menurut Pasal
60, putusan Mahkamah Internasional bersifat final dan mengikat yang
dibatasi oleh
Pasal 59, yaitu putusannya hanya mengikat para pihak yang terkait. Dalam
hal; salah
satu pihak gagal menjalankan kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat
mengajukannya
ke Dewan Keamanan (pasal 94).
(3) Pengadilan-pengadilan
lainnya. Salah satu persoalan hukum yang acapkali timbul dalam
era
globalisasi adalah persengketaan dalam perdagangan internasional. WTO sebagai
organisasi
perdagangan dunia memiliki sistem peradilan tersendiri untuk menyelesaikan
sengketa.
Sistem peradilan ini dibentuk tahun 1994 bersamaan dengan berdirinya WTO.
Tujuannya untuk
menyelesaiakan hal-hal yang terkait dengan perjanjian-perjanjian
perdagangan
dengan menggunakan konsultasi-konsultasi antarpihak, mediasi, konsiliasi,
dan arbitrase.
Contoh lain adalah pengadilan yang didirikan atas dasar Konvensi Hukum
Laut 1982.
Pengadilan ini ditujukan untuk menangani persoalan-persoalan yang timbul
akibat hukum
laut yang baru.
4. Penyelesaian
Sengketa melalui Organisasi Internasional
a. Organisasi
Regional
Dalam
Deklarasi Manila (1982) tentang penyelesaian sengketa secara damai, dinyatakan
bahwa sengketa dapat diselesaikan melalui organisasi regional. Contoh
organisasi regional adalah NATO, Uni Eropa, ASEAN, dan Liga Arab. Salah satu
fungsi utama organisasi regional adalah menyediakan wadah yang terstruktur bagi
pemerintah negara untuk melakukan hubungan-hubungan diplomatik.
b. PBB
Menurut
Pasal 1 Piagam PBB, adalah salah satu
tujuan PBB adalah mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan
tersebut sangat terkait dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai. Tidak
mungkin perdamaian dapat tercipta apabila sengketa antarnegara tidak
terselesaikan. Oleh karena itu, sebuah
mekanisme penyelesaian sengketa merupakan hal penting demi tercapainya tujuan
PBB. Institusi PBB yang berperan penting dalam penyelesaian pertikaian secara
damai adalah Dewan Keamanan, Majelis
Umum, dan sekretaris Jenderal.