Selasa, 21 Februari 2017

B. SENGKETA INTERNASIONAL



B. SENGKETA INTERNASIONAL
1. Sebab-Sebab Sengketa Internasional
            Sejarah perang sama tuanya dengan sejarah manusia. Perang disebabkan oleh perbedaan kepentingan yang bermuara pada kepentingan politik. Dewasa ini, perang disebut-sebut sebagai pertahanan atau perlawanan terhadap “ancaman terorisme” meskipun penyebab sesungguhnya adalah perbedaan ideologi.
            Perang hanya menguntungkan dan demi kepentingan pihak penguasa. Rakyat sipil yang tidak bersalah kerap menjadi tumbal. “Perang suci” atas nama agamapun, dalam sejarah, sering tanpa ampun memusnahkan ras manusia dan melecehkan martabat manusia. Tahanan perang juga memiliki hak asasi seperti para pemenang perang. Inilah alasannya perlunya hukum perang (law of war) yang dapat melindungi orang sipil dan tawanan perang.
            Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang atas jus ad bellum (hukum tentang perang) yang mengatur justifikasi penggunaan kekerasan senjata oleh negara dan jus in bello (hukum yang berlaku dalam perang) yang dapat dibedakan atas cara melakukan (conduct of war lazim disebut Hague Laws atau Hukum Den Haag) dan perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang (lazim disebut genewa Laws atau hukum Jenewa).
            Hukum perang bertujuan agar pihak-pihak yang bertikai memberi perlindungan kepada penduduk sipil dan tawanan perang. Hukum tersebut menjadi landasan bagi Pengadilan Internasional dan Mahkamah Internasional untuk mengadili tindak pidana yang timbul akibat perang.   

2. Batas Negara, Daerah Perbatasan, dan Sengketa
a. Batas Negara dan Daerah perbatasan
            Pembagian awal ini didasarkan luas tanah pertanian atau pengaruh pusat kota atas daerah sekitarnya. Ketika kelompok-kelompok yang terbagi atas kerajaan mulai mengembangkan teritorialnya, mereka melanggar batas kerajaan lain. Perang pun pecah yang akhirnya diikuti dengan perdamaian. Hasilnya adalah daerah transisi antardua wilayah kerajaan berupa daerah perbatasan.
            Pentingnya batas negara tidak sepenuhnya disadari orang hingga zaman eksplorasi pada abad ke-15 dan 16 serta abad-abad berikutnya. Ketika orang-orang Eropa mengklaim daerah baru di Amerika, Afrika, dan Asia. Berlanjutnya penjajahn pada abad ke-17, 18, dan 19 memunculkan ketidaksepakatan negara tentang klaim wilyah mereka. Penentuan batas yang jelas semakin diperlukan. Dengan kemajuan teknologi, negara-negara mampu menentukan dan mencatat batas-batas wilayah mereka dengan lebih baik. Hingga akhir abad ke-19, sebagian besar dunia telah dibagi menurut batas-batas negara, wilayah penjajahan, atau klaim.
            Banyak konflik militer  yang terjadi karena garis batas yang tidak disepakati atau perebutan wilayah dengan berbagai alasan oleh dua atau lebih negara. Kebutuhan sumber daya baru seperti makanan, air, atau minyak untuk mendukung pertumbuhan penduduk juga menjadi dasar klaim batas negara.

b. Sengketa
            Berdirinya Liga Bangsa-Bangsa tahun 1919 (akhir Perang Dunia1) diharapkan mampu menjadi organisasi yang netral untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai dan legal, serta untuk menghindari perang. Organisasi ini kemudian diganti oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia 11. Bentrokan kepentingan karena masalah perbatasan masih terjadi hingga saat ini, tetapi negara-negara lebih memilih mencari jalan damai melalui PBB dan Mahkamah Internasional. Disamping itu tekanan kekuatan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia dan Cina; aliansi seperti PBB, NATO, Organisasi Persatuan Afrika maupun organisasi lainnya turut menekan sengketa.
            Diadopsinya Piagam PBB memunculkan anggapan bahwa penggunaan kekerasan atau perang telah diharamkan dalam praktik hubungan internasional. Sebagai kelanjutannya negara-negara harus menggunakan jalan damai sebagai satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan sengketa. Ada dua kemungkinan yang tersisa bagi penggunaan kekerasan, yakni membela diri dan otorisasi dari Dewan Kemanan PBB. Ketentuan ini menurut para ahli sebagai jantung ketentuan Piagam PBB dan prinsip terpenting dalam hukum internasional kontemporer.
            Dasar hukum cara-cara damai terdapat dalam Piagam PBB Pasal 33. Pasal ini memperkuat tuntutan kepada negara untuk menggunakan alat-alat penyelesaian damai. Alat-alat penyelesaian damai yang dimaksud pasal 33 Piagam PBB sebagai upaya mencari jalan keluar dengan organisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian pengadilan, penyelesaian melalui agen-agen regional, atau cara-cara menurut pilihan negara masing-masing.
             Sengketa batas negara muncul ketika negara mengklaim daerah yang berdekatan dengan negara lain karena hal-hal tertentu (catatan sejarah atau budaya, posisi strategis, atau sumber daya ekonomi seperti minyak bumi dan air tanah) yang dimiliki oleh daerah-daerah tersebut.  Sengketa tidak akan terjadi sebelum konflik militer atau upaya diplomatik terjadi, meskipun klaim informal oleh suatu negara juga dapat menimbulkan ketegangan.
            Mahkamah Internasional bertindak sebagai tangan hukum PBB dan memberikan pendapat kepada negara yang terlibat sengketa. Negara-negara dapat saja mengklaim suatu daerah sebagai wilayah mereka, tetapi mereka harus dapat membuktikannya di depan Mahkamah Internasional.  Hal ini sulit karena bukti-bukti tersebut memerlukan penelitian sejarah, peta, serta dokumen yang mungkin langka atau tidak tersedia.
            Ada empat sengketa batas negara:
1. Sengketa posisi, dalam sengketa ini lokasi batas disengketakan oleh satu kelompok atau
    lebih. Suatu negara bisa tidak sepakat tentang batas, karena survei yang tidak akurat atau
    catatan yang sudah tua, atau karena alasan lain. Ciri-ciri geografis seperti sungai dan
    pegunungan sering dipakai sebagai batas alam karena posisinya yang pasti. Namun, dari
    waktu ke waktu ciri-ciri geografis ini berubah karena proses geofisika. Sebagian sungai
    Kongo yang membentuk batas antara negara Kongo dan Republik Demokrat Kongo
    dipersengketakan karena pergeseran pulau dan aliran sungai.
2. Sengketa teritorial, terjadi jika suatu negara mengklaim wilayah yang berada di wilayah
    negara lain atau ketika batasnya dipersengketakan, karena alasan sejarah atau budaya.
    Kelompok budaya tertentu mungkin telah menempati daerah dalam jangka waktu lama dan
    mendasarkan klaim mereka atas hal ini. Contohnya, invasi Irak ke Kuwait tahun 1990 dan
    sengketa Semenanjung Bsi antar Nigeria dan Kamerun.
3. Sengketa sumber daya, sangat lazim terjadi akhir-akhir ini. Sengketa blok Ambalat antara
    Indonesia dan Malaysia yang disebabkan adanya sumber daya minyak bumi di wilayah itu.
    Perubahan kecil terhadap suatu batas atau akuisisi pulau lain yang tidak signifikan (dalam
    kasus ini Pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia) dapat menghasilkan banyak manfaat
    ekonomi di bawah hukum internasional, seperti diperolehnya Zona Ekonomi Esklusif yang
    memberikan pemasukan kepada negara di perairan internasional. Contoh lainnya adalah
    Rockall Island di Samudera Atlantik yang diklaim oleh Irlandia, Denmark, dan Eslandia.
4. Sengketa budaya, terjadi ketika kelompok yang berbeda secara budaya memilih untuk
    memisahkan diri dari kelompok lain di wilayah mereka, bila perlu dengan menggunakan
    kekuatan bersenjata. Sebuah kelompok dapat berbeda  secara budaya karena berbagai
    faktor yaitu: latar belakang suku bangsa, afiliasi agama, keyakinan politik, dan bahasa.
    Sengketa budaya paling sulit diselesaikan karena mengandung nilai pribadi dan nasional.
    Banyak sengketa internasional dewasa ini memiliki aspek budaya, khususnya agama dan
    politik. Misal sengketa di sekitar Yerusalem yang didasari oleh pendudukan tempat ibadah
    dimasa lalu oleh kaum Yahudi, Nasrani, dan muslim. Masalah Bosnia-Herzegovina
    terutama disebabkan oleh pertikaian antara kubu kristen dan muslim.
            Sebuah pertikaian bisa melibatkan satu atau lebih sengketa di atas atau bahkan keempat-empatnya. Misal sengketa di Jammu dan Kashmir, di Asia Selatan. Sengketa tidak selalu terjadi antarnegara yang berdaulat, namun bisa terjadi di sebuah negara karena pembagian administrasi dan internasional, seperti provinsi atau negara bagian. Atau karena kelompok berbudaya beda ingin memerdekakan diri dari negaranya. Perang yang terjadi di provinsi Kosovo, Yugoslavia, oleh etnis Albania yang menginginkan otonomi politik dan budaya, Yugoslavia, perang antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia, serta perang yang terus berlanjut di Sri Lanka Utara antara kelompok etnis tamil dan pemerintahan yang berkuasa merupakan contohnya. Jika solusi diplomatik tidak tercapai, sengketa internasional seperti ini dapat menciptakan batas negara baru. Hal ini terjadi dalam perang Balkan (1992-1995) ketika Yugoslavia pecah menjadi negara-negara baru: Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Republik Federal Yugoslavia (sekarang Serbia-Montenegro), dan Republik Macedonia.

3. Cara Menyelesaikan Sengketa internasional
a. Metode-Metode Diplomatik     
(1) Negosiasi, merupakan metode penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan
     sederhana. Dalam metode ini, penyelesaian tidak melibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya,
     hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Apabila kedua pihak
     menemukan jalan keluar sengketa, maka setiap pihak memberikan konsesi kepada pihak
     lawan. Terkadang negoisasi merupakan cara pertama sebelum para pihak menggunakan
     cara-cara lain.
(2) Mediasi, merupakan bentuk lain negoisasi. Perbedaannya, mediasi melibatkan piak ketiga
     yang bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator). Seorang mediator merupakan pihak
     ketiga memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat dalam melancarkan terjadinya
     kesepakatan diantara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya bisa terlaksana apabila
     para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh para
     pihak yang bersengketa.
(3) Inquiry, metode ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sengketa dengan cara
     mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional guna mencari dan
     mendengarkan bukti-bukti yang relevan dengan permasalahan. Berdasarkan bukti-bukti
     yang ada, badan ini dapat mengeluarkan sebuah fakta disertai dengan penyelesaian
     permasalahan.
(4) Konsiliasi, merupakan metode penyelesaian pertikaian yang bersifat internasional dalam
     suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik bersifat permanen atau sementara.
     Perbedaan antara konsiliasi dan mediasi adalah mediasi merupakan perluasan dari
     negoisasi, sedangkan konsiliasi memberikan peran bagi pihak ketiga yang setaraf dengan
     inquiry atau arbitrase. Dalam konsiliasi, pencarian fakta bukanlah hal yang mutlak harus
     ada. Kemiripannya dengan mediasi terletak pada penyelesaian yang diajukan tidak
     memiliki kekuatan memaksa.

b. Metode-metode legal
            Metode ini merupakan cara penyelesaian sengketa internasional secara yudisial (hukum) dalam hukum internasional, yang tentu saja  berbeda dengan sistem hukum nasional. Beberapa metode penyelesaian secara legal adalah sebagai berikut:
(1) Arbitrase, metode ini digunakan dalam hukum nasional dan hukum internasional. Secara
     tradisional, arbitrase digunakan dalam persoalan-persoalan hukum, biasanya dalam
     persengketaan mengenai perbatasan dan wilayah. Arbitrase memberikan keleluasan
      kepada para pihak yang bersengketa untuk mementukan proses perkara. Hal untuk
      memilih arbitrator.
(2) Mahkamah Internasional merupakan pengadilan yang memiliki yurisdiksi atas berbagai
     persoalan internasional. Mahkamah Internasional berwenang untuk memutuskan suatu
     kasus dengan persetujuan semua pihak yang bersengketa. Fungsi Mahkamah Internasional
     dinyatakan dalam Piagam PBB pasal 38 (1), yaitu memutus perkara sesuai dengan
     hukum internasional. Dalam memutus perkara, Mahkamah Internasional harus
     memperhatikan bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Bahkan tidak
     menutup kemungkinan bagi Mahkamah Internasional untuk mengunjungi objek sengketa.
     Menurut Pasal 60, putusan Mahkamah Internasional bersifat final dan mengikat yang
     dibatasi oleh Pasal 59, yaitu putusannya hanya mengikat para pihak yang terkait. Dalam
     hal; salah satu pihak gagal menjalankan kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat
     mengajukannya ke Dewan Keamanan (pasal 94).  
(3) Pengadilan-pengadilan lainnya. Salah satu persoalan hukum yang acapkali timbul dalam
     era globalisasi adalah persengketaan dalam perdagangan internasional. WTO sebagai
     organisasi perdagangan dunia memiliki sistem peradilan tersendiri untuk menyelesaikan
     sengketa. Sistem peradilan ini dibentuk tahun 1994 bersamaan dengan berdirinya WTO.
     Tujuannya untuk menyelesaiakan hal-hal yang terkait dengan perjanjian-perjanjian
     perdagangan dengan menggunakan konsultasi-konsultasi antarpihak, mediasi, konsiliasi,
     dan arbitrase. Contoh lain adalah pengadilan yang didirikan atas dasar Konvensi Hukum
     Laut 1982. Pengadilan ini ditujukan untuk menangani persoalan-persoalan yang timbul
    akibat hukum laut yang baru.

4. Penyelesaian Sengketa melalui Organisasi Internasional
a. Organisasi Regional
            Dalam Deklarasi Manila (1982) tentang penyelesaian sengketa secara damai, dinyatakan bahwa sengketa dapat diselesaikan melalui organisasi regional. Contoh organisasi regional adalah NATO, Uni Eropa, ASEAN, dan Liga Arab. Salah satu fungsi utama organisasi regional adalah menyediakan wadah yang terstruktur bagi pemerintah negara untuk melakukan hubungan-hubungan diplomatik.
b. PBB
            Menurut Pasal 1 Piagam PBB,  adalah salah satu tujuan PBB adalah mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan tersebut sangat terkait dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai. Tidak mungkin perdamaian dapat tercipta apabila sengketa antarnegara tidak terselesaikan.  Oleh karena itu, sebuah mekanisme penyelesaian sengketa merupakan hal penting demi tercapainya tujuan PBB. Institusi PBB yang berperan penting dalam penyelesaian pertikaian secara damai  adalah Dewan Keamanan, Majelis Umum, dan sekretaris Jenderal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar